CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 28 Juni 2012

Jogja vs Bandung

Source: ita's personal doc.

Jogja dan Bandung...
Dua kota tempat aku menimba ilmu.
Dua kota penuh kenangan.
Dua kota dengan kepribadian yang berbeda.
Pada dasarnya, Jogja dan Bandung sama-sama menyenangkan.
Jogja dan Bandung ibarat Piaggio Vespa dan Honda Scoopy, sama-sama enak dinaiki tetapi masing-masing memberikan kenyamanan tersendiri.
Naik Vespa membuatku merasa menjadi vintage, merakyat, simpel, dan bersahaja.
Sedangkan naik Scoopy membuatku merasa muda, stylish, santai, dan up to date.
Lalu apalagi yang membedakan antara Jogja dan Bandung?
Berikut beberapa perbedaan yang aku tangkap selama tinggal di kedua kota ini...

1. Pengendara sepeda motor wanita
Sekarang, aku harus tinggal di "Paris van Java" untuk melanjutkan studi S2 ku.
Karena aku suka sekali hang out (ngeluyur), maka aku membawa sepeda lipatku ke Bandung untuk menemaniku menikmati setiap sudut kota Bandung.
Namun ternyata aku sadar kalau jarak tempuh berkeliling dengan sepeda sangat terbatas.
Apalagi medan kota Bandung yang naik turun.
Jadi aku putuskan untuk mengangkut sepeda motorku ke Bandung.
Naik sepeda motor lebih menyenangkan dari pada naik mobil.
Bisa merasakan terpaan angin, bisa lebih bebas melihat pemandangan sepanjang jalan, bisa nyelip-nyelip kalau lagi macet, dan mudah parkirnya.
Selama mengendarai sepeda motor di Bandung, aku baru menyadari 1 hal, yaitu ternyata jarang aku temui wanita mengendarai sepeda motor.
Yang lebih sering terlihat adalah wanita mengendarai mobil atau wanita dibonceng laki-laki.
Bahkan menurut survei kecil-kecilan yang aku lakukan pada teman-teman satu kampusku, ternyata dari 30 wanita di kampus ITB hanya 1 orang saja yang berangkat ke kampus menggunakan sepeda motor (survei ditujukan kepada teman-teman wanita yang berangkat ke kampus dengan kendaraan pribadi).
Yang berarti 29 lainnya berangkat ke kampus dengan mobil pribadi.
Padahal tempat parkir di ITB itu amat sangat terbatas.
Bukan hanya tempat parkir mobil, untuk tempat parkir sepeda motor pun sudah sangat penuh.
Oleh karena itu, aku lebih suka ke kampus naik angkot.
Ya begitulah..Entah mungkin karena alasan kenyamanan, keamanan, prestige, atau estetika..tapi memang tak banyak aku temui wanita mengendarai sepeda motor di Bandung.
Lain halnya dengan di Jogja.
Jogja adalah kota penuh keberagaman, namun tetap terjaga rasa kebersamaan.
Itulah salah satu hal yang menurutku membuat Jogja nyaman.
Di Jogja akan dengan sangat mudah kita jumpai wanita mengendarai sepeda motor.
Aku termasuk di dalamnya :D


2. Cewek cantik dengan pacarnya yang "pas-pasan"
Nah untuk yang satu ini mungkin tidak hanya ditemui di Bandung.
Tetapi memang akan lebih mudah ditemui di Bandung :D
Apalagi saat berjalan-jalan ke mall-mall di Bandung, kita akan banyak menemui fenomena cewek cantik berjalan mesra dengan pacarnya (atau entah siapanya) yang berwajah pas-pasan.
Bagaimana dengan Jogja?
Sebenarnya di Jogja juga sama saja.
Tapi yang lebih mungkin ditemui di Jogja adalah bule yang berjalan mesra dengan cewek jawa berkulit eksotis dan tidak terlalu cantik :D
Ini akan mudah kita jumpai di jalan Prawirotaman (daerah penginapan dan tempat nongkrong bule-bule yang berkunjung ke Jogja).

3. S1 di UGM vs S2 di ITB
Inilah kedua tempatku menempuh studi Strata 1 (S1) dan Strata 2 (S2).
Sama-sama kampus terbaik di kota masing-masing.
Walaupun sama-sama hebat, kedua kampus ini mempunyai perbedaan.
Yang membedakan keduanya adalah atmosfer belajarnya.
Paling tidak itulah yang aku rasakan.
Kalau di UGM, setiap selesai kuliah, aku dan teman-teman pergi ke kantin untuk makan sambil mengobrol santai.
Kalau di ITB, selesai kuliah kami ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas bersama.
Kalau di UGM, yang sering aku bawa kesana-kemari adalah makanan dan minuman ringan.
Kalau di ITB, yang sering aku bawa kesana-kemari adalah buku-buku tebal karangan Bird, Reklaitis, dan Van Ness.
Kalau kumpul-kumpul bareng temen-temen UGM suka nge-gosipin artis.
Kalau kumpul-kumpul bareng temen-temen ITB suka nge-gosipin penemu hukum termodinamika.
Huuuft!!

4. Pedagang
Coba perhatikan baik-bauk para pedagang kaki lima di Bandung.
Penjual gorengan, penjual gehu, padagang asongan, penjual cilok, penjual batagor, dan penjual kain di Pasar Baru, penjual baju, penjual ayam cobek, dan para penjual-penjual lainnya.
Perhatikan penampilan mereka.
Sebagian besar berpenampilan rapi dan berdandan.
Kaos distro rapi, bukan kaos oblong kumal.
Ada yang memakai kemeja dengan sepatu.
Rambut tertata dengan model terkini.
Memang tidak semuanya demikian, tapi sebagian besar yang aku lihat seperti itu.
Hal ini bagus, karena pedagang terlihat lebih bersih.
Tapi ada tidak bagusnya juga.
Terutama untuk pembeli yang penampilannya ternyata lebih berantakan dari penjualnya.
Bisa-bisa malah pembeli ini disangka penjual oleh konsumen-konsumen yang lain :D (menurut pengalaman seorang teman).
Kalau Jogja?
Ada juga yang rapi...
Tapi sebagian besar tampil seadanya.
Yang penting dagangan laku, penampilan nomor sekian.

5. Pengamen Malam Minggu di Dago vs Malioboro
Jalanan di kota manapun akan lebih ramai di malam minggu.
Saatnya orang berlibur, saatnya orang ngapel ke tempat pacar, saatnya penjual dan pengamen giat turun ke jalan.
Jalan Dago adalah salah satu kawasan yang akan ramai dipenuhi para pelancong di Bandung.
Di sana jugalah akan ramai para pengamen di setiap perempatan.
Namun pengamen di sana bukanlah seperti pengamen-pengamen pada umumnya.
Biasanya pengamen di Jl. Dago adalah para mahasiswa mahasiswi yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik.
Mereka bernyanyi bersama layaknya grup paduan suara, karena satu rombongan pengamen ini bisa terdiri dari 5 - 10 orang.
Berbeda dengan pengamen di Jalan Malioboro, Jogja.
Mereka favorit saya.
Makan di lesehan pinggir jalan Malioboro, sambil dihibur lantunan lagu dari pengamen jalanan yang suaranya lumayan.
Mereka membawa alat musik beraneka macam, dari gitar, instrumen perkusi, contra bass, biola, cajon, etc.
Favoritku adalah pengamen di depan penjual gudeg "Terang Bulan", Malioboro.
Gudeg "Terang Bulan" adalah warung gudeg lesehan yang buka di depan toko"Terang Bulan"  :D
Pengamen di situ bisa dibilang pengamen tetap.
Mereka tidak berpindah-pindah.
Pengamen ini terdiri dari bapak-bapak yang masing-masing piawai memainkan alat musik yang mereka pegang.
Dan asyiknya, mereka bisa menyanyi lagu apa saja.
Dari tembang lawas, lagu british, sampai lagu-lagu masa kini, hampir semua bisa.
Semua terserah pengunjung yang request.
Bagaimanapun Jogja memang selalu istimewa...

Untuk sementara ini, hanya kelima point itu yang aku ingat mengenai Bandung dan Jogja secara tidak kasat mata..point-point lainnya akan menyusul seiring berjalannya waktu :p


1 komentar:

eriklaka mengatakan...

Deutchland Ubber Alles (German above everything)

Posting Komentar