CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 26 Juli 2012

Belajar Dari Kakek-Nenek

Pagi itu aku ke pasar sendirian untuk membeli kue pukis kesukaanku.
Ibu nitip minta dibeliin ikan asin.
Hari ini ibu akan memasak sayur asem plus ikan asin dan sambal terasi...yummy!
Memang sejak merantau di Kota Kembang, aku selalu minta dimasakin ini itu setiap aku pulang.
Maklum, kangen masakan rumah :D
Kembali ke pasar..
Ikan asin dan sebungkus cabe rawit sudah di tangan.
Aku pun melangkah pulang.
Belum juga keluar dari pasar, aku melihat seorang nenek duduk dengan keranjang kosong di sampingnya.
Tangannya menggenggam sebuah kantong plastik hitam.
Aku melintas di depan nenek tua itu sambil mengintip ke dalam kontong plastik yang dia bawa.
Ternyata isinya tempe!
Aku menghentikan langkahku dan mulai mendekati sang nenek.
"Mbah tempenipun pintenan?" (Mbah, tempenya berapaan?), aku menanyakan harga tempe bermaksud untuk membelinya.
"Sedoyo setunggal ewu nduk.." (Semua seribu nak), nenek menjawab lirih sambil menyodorkan plastiknya.
Glek! Aku menelan ludah.
Seribu...
Aku langsung merogoh saku.
Ada selembar uang 2 ribu dan selembar uang seribu.
Yang seribu untuk parkir.
Jadi aku menyerahkan uang 2 ribu kepada nenek itu.
"Niki mbah, kunduripun mboten sah." (Ini mbak, kembaliannya tidak usah), aku menyerahkan uang dan mengambil bungkusannya.
Sang nenek mengernyitkan dahi tanda tidak setuju.
"Mboten, mboten! Niki kundure ngger.." (Tidak, tidak! Ini kembaliannya nak), nenek itu memaksaku menerima uang seribu rupiah sebagai kembalian.
Aku menolak.
Tapi sang nenek bersikeras menyerahkan kembaliannya.
"Niki saged kagem mundhut liyane." (Ini bisa untuk membeli belanjaan yang lainnya)
Deg!
Aku tercekat..
Aku pun terpaksa menerima uang kembalian itu.
"Matur nuwun mbah." (Terima kasih nek)
Lalu aku pergi meninggalkan nenek itu.
Beliau tersenyum tulus..aku membalas senyum, tapi hatiku pedih.
Sepanjang perjalanan aku tak henti-hentinya memanjatkan doa agar sang nenek tadi diberikan kesehatan dan dilimpahi rejeki yang barokah.
Dan menu hari ini pun semakin lengkap...sayur asem, ikan asin, sambal terasi, 6 potong tempe goreng, dan pelajaran berharga dari nenek tadi.
Ah, andai para koruptor belajar dari nenek itu..
Yang tidak mau menerima uang yang bukan haknya..
Yang pantang meminta-minta..
Yang bersyukur dengan apa yang dia dapatkan sesuai jerih payahnya..
Pasti negaraku akan sejahtera.

Di lain hari, aku berjalan-jalan di Alun-alun kidul (Alkid) Jogja.

Aku mampir di sebuah warung yang menjual ice cream cone.
Di luar warung aku melihat ada bilik kecil sebagai tempat tambal ban.
Tidak ada kompresor, yang ada hanya pompa manual usang.
Aku lihat seorang kakek tua sedang berjuang menambal ban becak.
Dari gurat wajahnya, aku perkirakan usia kakek ini sekitar 80-an.
Tapi beliau masih cekatan melakukan pekerjaannya sebagai tukang tambal ban.
Benar saja..selidik punya selidik, ternyata kakek ini telah menjalani profesinya sejak tahun 1951!
Kakek ini sebagai saksi perubahan jaman.
Dari jaman penjajahan, jaman perjuangan, jaman kemerdekaan, hingga jaman alay seperti sekarang ini.
Kakek berasal dari Bantul.
Setiap sebulan sekali beliau pulang kampung.
Entah berapa besar penghasilannya sebulan.
Tapi berapa pun itu, sang kakek telah berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dengan uang halal.
Ternyata kakek ini tinggal di belakang warung.
Semacam gudang yang kumuh dan tak terawat.
Tidak ada lampu.
Jadi setiap malam, kakek hanya bisa mendengarkan hiruk pikuk Alkid dari kejauhan dalam kegelapan.
Ah, andai seluruh rakyat negaraku mempunyai jiwa pekerja keras seperti kakek ini..
Pasti negaraku akan menjadi negara yang maju.

Beberapa waktu yang lalu aku berlibur ke pantai bersama teman-teman.

Yang kami tuju adalah pantai di daerah Gunung Kidul.
Banyak pantai-pantai indah di kawasan ini.
Di antaranya yang sering dijadikan tujuan wisata para wisatawan adalah Pantai Baron, Kukup, Krakal, Sadeng, Ngrenehan, Indrayanti, dsb.
Namun kali ini kami ingin mencoba menyusuri pantai yang masih belum terlalu banyak didatangi wisatawan.
Kami mencari pantai baru.
Namanya Pantai Pok Tunggal.
Setelah bermalam di tebing Pantai Baron, kami melanjutkan destinasi ke Pantai Pok Tunggal.
Subhanallah..pasir putih terhampar, ombak besar bergulung-gulung dan pecah menabrak barisan karang, batu-batu besar tertata di tepi kanan pantai.
Tapi menurutku ada satu yang kurang.
Yaitu unta!
Jadi ingat pantai di kawasan Nusa Dua atau pantai di Dubai, yang di pinggir pantainya terdapat penyewaan unta untuk ditunggangi layaknya berada di gurun pasir.
Ada satu lagi yang menarik, yaitu adanya mata air tawar di tepi pantai.
Aku pun mendekati mata air ini.
Letaknya di bawah pohon besar.
Air tertampung di bawah akar pohon yang pasirnya cekung membentuk seperti celah gua.
Di dekat mata air aku melihat seorang kakek sedang membasuh badannya.
Aku mendekati kakek itu dan mengobrol sejenak.
Kakek bercerita panjang lebar mengenai asal-usul mata air itu.
Konon katanya mata air itu cukup luas, tapi lama kelamaan surut dan menyisakan genangan seperti sekarang ini.
Mata air ini ada sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
Lalu sang kakek menceritakan tentang masa penjajahan Jepang tempo dulu.
Dengan bersemangat, kakek bercerita tentang bagaimana Jepang menduduki wilayah pantai.
Ternyata kakek ini adalah mantan tentara Heiho.
Beliau lalu menceritakan bagaimana cara baris berbaris.
Bagaimana Jepang memarahi pasukan.
Bagaimana menghitung dari 1 sampai 20 dalam bahasa Jepang.
Bagaimana menyebut nama 12 bulan dalam bahasa Jepang.
Bahkan sang kakek menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang, dengan fasih.
Aku melihat semangat di mata sang kakek.
Selesai bercengkrama sebentar, kakek pamit dan melanjutkan pekerjaannya mengangkut air untuk kebutuhan sehari-hari.
Ah, andai para pemuda sekarang memahami semua sejarah bangsa..
Pasti mereka akan lebih menghargai arti kemerdekaan yang sesungguhnya.

0 komentar:

Posting Komentar